Lawasialah ungkapan ekspresi sejenis puisi atau pantun yang berisi tiga baris biasanya dihadirkan pada momen upacara adat, penikahan, dan peristiwa-peristiwa lainnya. Syair bakelong biasanya memiliki pesan moral tentang cinta, nasehat, dan motivasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Penelitianini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan dalam sastra lisan lawas (puisi rakyat) masyarakat Sumbawa. Lawas telah menjadi bagian dari tonggak kehidupan masyarakat vTujuan penciptaan lawas adalah untuk memberikan pandangan/cerminan kepada masyarakat Samawa, bahwa dalam lawas terdapat nilai (nasehat), pandangan hidup, kepercayaan, cara berfikir, dan nilai budaya (etnis Samawa) yang patut diteladani oleh masyarakatnya, baik dalam hubungannya dimasa lalu, masa sekarang, maupun untuk masa yang akan datang. Sumbawaadalah lawas. 2.2 Hakikat Lawas Lawas merupakan puisi rakyat yang menggunakan bahasa Sumbawa baik lisan maupun tulisan untuk mengekspresikan atau mengungkapkan perasaan hati dalam berbagai peristiwa. Juanda (2016) menyatakan, lawas adalah sastra lisan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Sumbawa untuk mengungkapkan isi hati BacaJuga: Sejak Dulu Islam Memuliakan dan Menghormati Perempuan. Jika keluar darah melebihi 60 hari, maka itu tidak bisa dihukumi nifas. Darah yang keluar setelah hari ke-60 masuk bab istihadhah. Meski begitu, ada beberapa rambu-rambu yang harus diketahui. "Umumnya di masyarakat memahami nifas harus 40 hari. Vay Tiền Nhanh Ggads. LAWAS Seni sastra yang sangat menonjol di Sumbawa adalah seni sastra ā€œLawas.ā€ Lawas bagi masyarakat Sumbawa bukan sekadar seni sastra, namun Lawas juga sebagai media hiburan yang dapat dipertunjukkan dan atau dipertontonkan. Lawas menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sumbawa. Lawas diwariskan dan diturunkan dalam bentuk lisan. Lawas bagi masyarakat Sumbawa menjadi sumber dari segala sumber seni. Lawas akan dilantunkan kedalam berbagai bentuk seni, meliputi Seni Balawas, Rabalas Lawas, Malangko, Badede, Badiya, Bagandang, Bagesong, Sakeco, bahkan tutur atau cerita pun disampaikan dalam bentuk Kamus Bahasa Sumbawa-Indonesia dikatakan bahwa Lawas adalah sejenis puisi tradisi khas Sumbawa, umumnya terdiri atas tiga baris, biasa dilisankan pada upacara-upacara tertentu. Pengertian Lawas pada Kamus Bahasa Sumbawa-Indonesia belum dapat dikatakan lengkap, karena Lawas juga ada yang terdiri atas empat baris, enam baris, dan ada juga yang delapan baris dalam tiap sebagai puisi lisan tradisional masyarakat etnis Sumbawa dapat kita nikmati dalam berbagai bentuk pertunjukkan. Lawas dipertunjukkan dalam dua bentuk, meliputi 1 dipanggung dan 2 pada saat orang bekerja di sawah, di ladang, saat gotong royong membangun rumah, mengasuh anak, saat upacara adat, saat Karapan Kerbau, Barampok sebagai sebuah yang dilantunkan pada saat beraktivitas biasanya untuk mengurangi rasa sepi, sebagai hiburan, mengalihkan perhatian dari pekerjaan yang dilakukan, dan Lawas di Sumbawa tidak diketahui secara pasti. Kehadiran Lawas bagi masyarakat Sumbawa pada awalnya berperan sebagai media ekspresi batin manusia dan sebagai perekam peristiwa yang terjadi di seputarnya. Apa yang tampak atau yang dipikirkan oleh masyarakat Sumbawa tempo dulu biasanya akan disampaikan melalui Lawas. LAWAS ULANLawas Ulan adalah Lawas yang disampaikan berdasarkan konsep kewaktuan. Lawas Ulan tidak boleh diucapkan sembarangan, sebab untuk memulai Lawas Ulan menggunakan penanda waktu. Penanda waktu dapat diperhatikan pada saat Lawas mulai tembangkan. Penanda waktu itu bukan berdasarkan jam, sebab jam pada saat itu di Sumbawa. Penanda waktu yang digunakan adalah berupa keadaan, waktu pagi hari, siang, sore, dan malam waktu yang dimaksud adalah sebagai berikut Ta Pola Adal Nenrang Jong. Kata yang bergaris bawah di samping adalah penanda waktu. Adal dalam bahasa Indonesia adalah embun atau Ulan ano Siup dan ano rawi memiliki perbedaan. Perbedaan antara Lawas ulan ano Siup dan ano rawi terletak pada irama dan tempo lagunya. Lawas ulan di ano Siup iramanya agak mengalun dengan tempo yang lambat, sedangkan Lawas ulan di ano rawi irama alunannya tinggi dengan tempo yang dinamis. LAWAS ULAN SIUPLawas ulan Siup adalah Lawas yang disampaikan pada pagi hari dengan menggunakan irama dan tempo lagu yang lembut. Lawas ini biasanya disampaikan saat para petani akan berangkat ke sawah/lading atau saat orang-orang sedang menanam padi atau menuai padi secara beramai-ramai di pagi hari sekitar pukul Wita. Berikut ini Lawas ulan Siup. Permulaan Lawas Ulan Siup selalu menggunakan Lawas berikut dan Lawas berikut selalu dimulai oleh laki-laki, contohYamubuya Ijo GodongPuin Palemar ParaiTa Pola Adal Nenrang JongKau cari si hijau daun. Pohon yang penuh dengan air. Ini karena embun yang menetesAkusi Datang Nenrang JongLamin Tenrang Baeng DesaPitu Ten Nosi KumoleAku yang datang menetes. Bila ramah seisi kampung. Tujuh tahun tak dua bait Lawas di atas, maka Lawas selanjutnya bisa apa saja tergantung situasi dan kondisi emosi dan perasaan si pelantun sair Lawas ulan berikutKakendung Ling Kuandi EKupina Pangasa KauNo Tutu Sai YabolaTerlanjur kuucapkan adinda. Kau yang kuharapkan. Tak tahu siapa yang ULAN PANAS ANOLawas Ulan Panas Ano adalah Lawas yang disampaikan pada saat siang hari, saat matahari sedang terik/ panas-panasnya. Lawas Ulan Panas Ano berirama dan bertempo tinggi sebagai gambaran semangat. Lawas Ulan Panas Ano disampaikan pada siang hari sekitar pukul Wita. Berikut adalah Lawas Ulan Panas Ling Kuandi EKupina Pangasa KauSipak Lalo Gandeng JangiTerlanjur ucapku wahai adinda. Menaruh harapan kepadamu. Tak tahunya kamu setengah Ku Ke KauMikir Ate Totang RaraLeng To Diri MelasakanKuberharap berjodoh denganmu. Hatiku mikir aku miskin. Tahu diri tak punya apa-apaMelasakan Nanta RaraNgining Buya TuyapendiKamina Tingi Konang MalMerana karena miskin. Mencari orang yang mengasihan. Pamanda mulia tapi ULAN RAWI ANOLawas Ulan Rawi Ano adalah Lawas yang disampaikan sore hari, selepas shalat Asar. Lawas Ulan Rawi Ano berirama sendu dan tempo mulai turun dibandingkan dengan Lawas Ulan Panas Ano. Lawas Ulan Rawi Ano biasanya menggambarkan sebuah kesedihan atau pun kebahagiaan. Kondisi sedih dan bahagia bisa terjadi, jika sipelantun Lawas laki-laki diterima oleh pelantun Lawas wanita. Lawas Ulan Rawi Ano adalah Lawas penutup untuk pekerjaan Mataq Rame panen raya pada hari itu. Berikut adalah petikan Lawas Ulan Rawi ne Anak tunginingTili ano gama megaLema rep sakiki raraMelangkahlah si Anak merana. Tutuplah mentari wahai awan. Agar teduh si miskin inaqku sapuanNosoda dengan kamikirPang aku dua ke lenoMiskin ibuku dahulu. Tiada teman berpikir. Padaku hanya bersama beling gama lenoLema tulung aku mikirKau baesi kuasaBicaralah wahai bayangan. Tolonglah aku berpikir. Hanya engkau yang adalah Lawas yang dilantunkan oleh sekelompok orang dengan diiringi Serunai seruling atau pukulan alu pada lesung Nunya Rame. Gandang dilantunkan oleh sekelompok perjaka dan gadis, apabila sekelompok perjaka dan gadis melantunkan Gandang dengan iringan serunai maka disebut Gandang Suling, jika diiringi dengan pukulan alu pada lesung disebut Gandang nunya/nunya suling biasanya dilantunkan dalam suasana gembira karena hasil panen berlimpah, karena itu, Lawas-Lawas yang dilantunkan biasanya merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa. Gandang suling juga dilantunkan pada malam hari oleh dua orang pemuda yang salah satunya sedang jatuh cinta dan biasanya dilantunkan di tengah sawah saat menjelang padi menguning atau di tempat yang dekat dengan rumah si gadis yang diincar oleh pemuda itu. Lawas yang diungkapkan merupakan ungkapan kasih sayang, cinta, dan janji-janji sang pemuda kepada sang selain diiringi oleh Serunai juga ada yang diiringi oleh pukulan alu pada lesung, ini yang disebut dengan Gandang nuja/Nunya Rame. Gandang nuja biasanya dilakukan oleh sekelompok pemudi yang sedang menumbuk Nuja/Nunya Rame hanya dilakukan pada saat para wanita sedang bergotong royong menumbuk padi di halaman rumah kala bulan terang benderang. Pekerjaan ini dilakukan oleh para wanita untuk membantu tetangga menyiapkan beras ketan yang akan digunakan untuk hajatan. Pada saat seperti ini, biasanya para jejaka datang menyaksikan sambil memperhatikan siapa yang bakal dijadikan pasangan hidupnya mencari jodoh. Lawas-Lawas yang dilantunkan biasanya Lawas muda-mudi yang berisi sindiran, ejekan, dan ungkapan-ungkapan rasa cinta. Berikut petikan Lawas sampama kulaloKutarepa bale andiBeling ke rua e nantaSeandainya aku bertandang. Mampir di rumah adinda. Adakah gerangan belas oleh si gadisLamin tetapmo pang siaBose sangangkang let reaNaq beang bilu lako lenKalau tetap pendirian. Kayuhlah dayung ke samudra. Jangan berpaling pada yang adalah Lawas yang dikumandangkan oleh sekelompok orang sebagai pernyataan kegirangan atau pembangkit semangat saat mengadakan permainan rakyat atau bergotong-royong membangun rumah, mengangkut kayu besar. Di tengah-tengah orang yang baSaketa, biasanya muncul salah seorang yang mengumandngkan Lawas Saketa yang kemudian disambut serempak oleh anggota kelompok/rombongan dengan suara ā€œho… bam… baho… bam….ā€ dan seterusnya. Suara-suara pemberi semangat ini disebut dengan Gero/Bagero. Lawas Saketa yang di rangkaikan dengan Gero dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaan berat, Barapan Kebo karapan Kerbau, permainan rakyat Barampok/Barempuk tinju ala Sumbawa. Saketa dan Bagero digunakan juga untuk upacara mengiring pengantin Iring Pangantan dari rumah pihak laki-laki ke rumah calon pengantin wanita. Adapun Lawas yang disampaikan saat itu adalahPangantan ntek Rawi AnoIring leng mayung satupangLamin no buta batempangTuk tak ne mayungJontal satetak jadi payungSuara rombongan ā€œho… bam… baho… bam….ā€Pengantin berangkat sore hari—diiringi serombongan kijang—kalau tidak buta ya pincang—tuk tak wahai kijang—lontar sepotong jadi payungTradisi Saketa di Sumbawa saat ini sulit ditemukan lagi. Ini disebabkan oleh karena pembangunan rumah di Sumbawa sudah tidak bergotong-royong lagi dan kalaupun ada sudah tidak lagi diadakan BaSaketa. Lawas-Lawas yang disampaikan pun biasanya adalah Lawas yang bersifat menggalang persatuan dan kebersamaan dengan penuh pria yang menembangkan Lawas dengan lantang sambil mengacungkan dan atau merentangkan kedua tangannya, di salah satu tangannya memegang Mangkar cambuk khas Sumbawa yang khusus digunakan untuk menghalau kerbau pada saat ā€œBarapan Keboā€ karapan kerbau sambil menari mengelilingi arena. Ngumang hanya dilakukan pada saat Barapan Kebo, Maen Jaran dan dilakukan dengan tujuan untuk mengungkapkan kegembiraan karena telah menang, baik pada saat Barapan Kebo maupun pada saat Barampok. Ngumang juga bertujuan untuk memberikan semangat kepada peserta Barapan Kebo dan Barampok sekaligus juga berfungsi untuk memperkenalkan diri kepada penonton. Peserta yang menang biasanya akan Ngumang dan menyampaikan Lawas. Lawas Ngumang bisa seperti petikan Lawas e sai nongka tanMakatoan lako akuSa nya baing Gila RodaSiapakah yang belum mengenal—tanyalah padaku—inilah pemilik Gila Roda nama kerbau’BADEDE Badede adalah menembangkan Lawas yang ditujukan untuk Anak menjelang tidur atau saat pangantin sedang Barodak luluran’. Lawas yang biasa dinyanyikan oleh seorang ibu atau kakak yang sedang menina-bobokan atau mengasuh bayi disebut Badede Anak. Lawas yang dilantunkan pada saat Badede Anak bertemakan permohonan kepada Tuhan Yang Mahaesa agar Anak yang diasuh dapat panjang umur, berguna bagi orang tua, masyarakat, nusa dan bangsa serta agama. Badede Anak disebut juga Lawas yang digunakan pada saat Badede Anak tidak sama, tergantung pada umur dan pada tempat dimana Anak ditidurkan. Perbedaan itu terlihat pada irama dan kata-kata dari Lawas yang digunakan. Berikut ini contoh Lawas yang biasa digunakan pada kegiatan Badede adi matunungMeleng tunung kubeang meJangan jadi kembo kopangmari tidur adik mari tidur—bangun tidur kuberi nasi—ikan susu kerbau sehatAdi ode dalam bilikNyentik ima poyong mamaSadua kita gamandiAdik Mungil dalam kamar—lentik indah jemarimu—kita ini hanya berdua wahai adindaBadede Adat hanya berkembang di kalangan bangsawan Samawa Sumbawa. Badede Adat dilaksAnakan pada saat upacara perkawinan dan Sunat Rasul khitanan. Badede Adat ditembangkan oleh beberapa wanita sambil membunyikan Kosok Kancing sejenis marakas. Badede Adat dilantunkan dalam suasana yang relegius dan dihajatkan agar mereka yang menerima acara ini dalam keadaan selamat serta tidak mudah diganggu makhluk satu upacara yang diiringi Badede Adat adalah pada saat kegiatan Barodak luluran pengantin, baik pria maupun wanita keluarga bangsawan. Pengantin pada saat mau di-Odak dilulur, maka sekelompok wanita melantunkan Lawas Badede Adat. Lawas yang dilantunkan pada saat Barodak adalah sebagai Intan Mua DewaMua Bulaeng Do NantaPenangmo Intan Manmo NangesDuhai sayang duhai para Dewa—wahai permata duhai sayang—tenanglah sayang jangan menangisLamin Leq Tawar AteDome No Mane ParanaSiong Untung Sama RelaUntung Tusaling SasakitBila lama kau menangis—andaikan tidak merusak tubuh—bukanlah jodoh sama rela—jadinya jodoh pangkal sengsaraPenangmo Intan Manmo NangisBeang Boe Ling TutingiKita Tupasodo RaraPasodo Apa PasodoTenanglah sayang jangan menangis—biarkan habis oleh yang mulia—kita hanya mendekap dalam kemiskinan—milikilah apa yang kau milikiBASUAL Kata basual berasal dari kata sual yang mendapat awalan ba-, sual berarti soal, sedangkan ba- berarti menjadi. Jadi, basual artinya menyampaikan soal. Seseorang yang mengajukan soal yakni dengan menyampaikan sampiran dari sebuah Lawas. Bagi yang hadir dalam kesempatan tersebut dan mengetahui jawabannya, maka akan segera menjawabnya. Jawaban yang disampaikan adalah isi dari sampiran yang Basual dapat dijumpai pada saat orang sedang membuat atap rumah Nyantek, panen Mataq Rame, di rumah orang yang mau kawin Montok Basai, dan lain-lain. Contoh petikan Lawas Buri Desa UtanParak Ke Desa SamamungAna Badi Kuring RateMeporiri Ku Ta IntanJarang Kubau BatemungRosa Dadi Rusak AteAyam burik desa Utan—dekat dengan desa Samamung—ada badikku di rate. Betapalah caraku duhai kekasih—sangat jarang kita bertemu—hancul luluh hatikuLalo Mancing Ko PamulungEntek Lako Desa PungkaKupandang Desa MaliliLalo Kau Manjeng UrungKukelek No Balik BungkakMumandang Adasi Lilipergi memancing ke Pamulung—naik ke desa pungka—kupandang desa Malili. Pergilah engkau kekasih urung—kupanggil menoleh pun tidak—kau kawin ada juga penggantimuLANGKOLangko merupakan penyampaian Lawas yang dilakukan oleh sekelompok pemuda dan kelompok pemudi yang saling beradu Lawas cinta. Lawas-Lawas yang disampaikan dalam Langko berbeda dengan Lawas Sual. pada saat Malangko, Lawas yang disampaikan harus dijawab dengan Lawas, yang perlu diperhatikan dalam Malangko adalah langgam lagu Lawas yang dibawakan. Langgam lagu Langko ini yang sangat diperhatikan oleh si pelantun, selain juga Lawasnya. Jika tidak mampu mengikuti langgam lagu Langko, maka dianggap kalah, ditertawakan, dan juga malu. Mereka yang akan ikut Malangko harus orang-orang yang pandai baLawas dan juga pandai menembangkan langgam Malangko biasanya dimanfaatkan oleh para muda-mudi untuk mencari jodoh, oleh karena itu muda-mudi di Sumbawa pada waktu itu berusaha semaksimal mungkin untuk bisa BaLawas. Mereka yang bisa BaLawas di Sumbawa akan mempunyai pergaulan yang luas. Di Sumbawa ada dikenal tiga jenis orang, yakni Nyir Tamat Telu bisa membaca Al-Quran; bisa Ratob; dan bisa BaLawas. Lawas Kusamula Ke BismillahKusasuda Ke WassalamNan Ke Salamat Paranakumulai dengan bismillah-kuakhiri dengan wassalam-agar diri jadi selamatPutriRungan Rame Boat SiaBagentar Tana SamawaBatomo Nyata Kugitakabarnya meriah pesta Tuan—bergetar tanah Sumbawa—kini nyatalah sudahPutraTugitaq Nyata Ke MataRiam Mara Den BaringinNo Bola Ne Bawa Rungannyata terlihat mata—lebat bagai daun beringin—tidak bohong pembawa beritaPutriRungan Balongmu Andi EKaleng Empang Ko SakongkangNomonda Dengan Kubaningtersiar kecantikanmu duhai dinda—dari empang ke Sekongkang—tiada tanding tiada bandingSAKECO Sakeco merupakan salah satu bentuk seni yang bersumber dari Lawas. Sakeco banyak digemari oleh masyarakat Tau Samawa Sumbawa. Sakeco dimainkan oleh dua orang pria yang merupakan pasangannya dan masing-masing memegang satu rabana rebana. Rebana yang digunakan adalah bisa Rabana Ode atau Rabana Rango/Rabana Kebo Rebana Besar. Penggunaan dua jenis rebana ini didasarkan pada temung yang akan digunakan. Hanya saja, pada saat Sakeco, rabana yang digunakan harus penggunaan dua jenis rabana ini karena perbedaan Temung nada lagu, dan isi Sakeco. Rabana Ode lebih lincah, agresif, lebih variatif, dan jika ditabuh maka akan lebih cepat. Rabana Ode biasa dipakai untuk memainkan temung Sakeco Ano Rawi, sedangkan Rabana Kebo selain mengeluarkan suara lebih besar, temponya lambat, dan juga lebih monoton dari segi nada. Rabana Kebo biasanya digunakan oleh sebagian besar orang Sumbawa Ano merupakan seni yang sangat luwes dan dinamis dibandingkan dengan yang lain. Sakeco dapat dimuati oleh Lawas Nasihat pamuji; Lawas Tau Loka, Lawas Muda-mudi, Lawas tode yang dibuat dalam bentuk tutur cerita naratif. Informasi Awal - Tradisi Nyorong merupakan tradisi khas daerah masyarakat suku Samawa di Sumbawa. Tradisi ini merupakan suatu prosesi menghadapi pernikahan atau perkawinan dua pasangan. Tradisi nyorong berlangsung setelah beberapa rangkaian adat lain dilaksanakan seperti bajajag, bakatoan, basaputis, dan bada’. Maka setelah beberapa prosesi diatas dilaksanakan, barulah acara nyorong berlangsung. Bagi masyarakat Sumbawa, nyorong sangat penting, sebagai tanda penghormatan kaum laki-laki terhadap wanita yang akan dinikahinya. Pada umumnya, nyorong merupakan proses hantaran dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, biasanya diiringi dengan kesenian khas Sumbawa Ratib Rabana ode dan Rabalas Lawas. Barang-barang yang menjadi pokok pada proses nyorong ini merupakan sejumlah barang yang sudah ditetapkan oleh kedua belah pihak pada saat basaputis penentuan jawaban pihak wanita. Misalnya, Pipis Belanya sejumlah uang belanja kemudian Isi Peti berupa emas perhiasan Isi Lemari pakaian si gadis, mulai dari sandal hingga sanggul rambut dan Soan Lemar berupa beras, gula, minyak, kayu bakar dll termasuk kerbau atau sapi. Semua ini akan gunakan untuk menopang prosesi perkawinan yang dilaksanakan ditempat mempelai wanita. 1 Baca Tradisi Mekotek Baca Upacara Rambu SoloPelaksanaan Upacara Nyorong merupakan salah satu prosesi dari serangkaian prosesi pernikahan di tanah Sumbawa Tau Samawa. Prosesi Nyorong ini dilakukan setelah prosesi lamaran atau dalam bahasa lokal sumbawa disebut Bekatoan. Nyorong ini berlangsung dimana pihak laki-laki beserta keuarga mendatangi pihak perempuan kemudian menyampaikan niat dan tujuannya melamar sang perempuan. Kemudian setelah prosesi tersebut di teruskan dengan acara Basaputis memutuskan. Di dalam acara Basaputis ini, prosesi nyorong dan pernikahan di tentukan. Acara Nyorong merupakan prosesi dimana mempelai pria mengantarkan seserahan berupa barang-barang yang sudah disepakati dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Barang-barang tersebut merupakan kelengkapan untuk upacara pernikahan baik untuk acara nikah ataupun acara resepsi besai. Barang-barang yang di bawa dari keluarga mempelai pria tersebut berupa bahan pokok makanan, perlengkapan jajan-jajanm pakaian, ternak sapi, dan lain-lain. Selain itu barang-barang yang dibawa berupa kelengkapan untuk kehidupan sehari-hari pengantin dalam berumah tangga seperti lemari, kasur, dan lain-lain. Perbedaan prosesi Nyorong dengan prosesi seserahan pada umumnya adalah tradisi adat ini dilakukan dengan cara ramai-ramai beserta rombongan dan tokoh masyarakat. Umumnya, orang-orang yang terlibat dalam tradisi ini menggunakan pakaian adat setempat. Nyorong biasanya diiringi dengan alat musik tradisional khas masyarakat adat Sumbawa seperti suling, gong, genang, dan lainnya. Ibu-ibu menyambut keluarga besar dari pihak laki-laki dengan suara hentakan lesung panjang atau yang disebut rontok. Hentakan-hentakan tersebut membentuk irama merdu yang siap menyambut rombongan dari keluarga mempelai laki-laki. Ketika pihak mempelai laki-laki tiba di tempat mempelai perempuan, biasanya ditahan dulu sebelum masuk. Kemudian salah satu dari mereka tokoh masyarakat harus melantunkan lawas atau rabalas lawas dengan pihak perempuan. Hal ini bertujuan untuk memunculkan suasana keakraban dari kedua belah pihak. Setelah itu di lanjut dengan acara penyerahan barang-barang yang dibawa oleh rombongan dari mempelai pria kepada pihak keluarga mempelai perempuan. 2Keunikan Tradisi Nyorong Pihak mempelai laki-laki yang membawa barang hantaran tersebut datang berbondong-berbondong kepada pihak mempelai wanita, dengan diiringi kesenian khas Sumbawa Ratib Rabana Ode. Begitupun dengan pihak mempelai wanita, menyambut kedatangan rombongan mempelai laki-laki dengan rombongan yang ramai pula. Pada saat prosesi nyorong berlangsung disinilah bahasa-bahasa puitis sumbawa dirangkai menjadi bait pantun yang indah atau Lawas Samawa. Lawas biasanya dilantunkan oleh kedua belah pihak secara bergantian yang disebut dengan rabalas lawas. Isi dari lawas tersebut merupakan kata sambutan dari masing-masing pihak atas kebahagiannya menikahkan putra-putri mereka. Contohnya lantunan lawas dari pihak laki-laki biasanya Ka mu pesan kami datang kau pesan kami datang Ola berau kami langan si jalan berdebu kami lalui Totang jangi ke darana ingat janji dengan si gadis Setelah itu, lawas tersebut dibalas kembali oleh pihak wanita sebagai jawaban dari lawas pihak laki-laki Ngibar piyo ling lawang ta burung berkibar depan pintu Pasamada kanatang sia memberitahukan akan kedatangan saudara Tutu lampa ka ling tutu benar juga kata terucap Jadi selain sebagai prosesi hantaran, nyorong juga merupakan salah satu ajang silaturrahmi, karena pada saat nyorong berlangsung banyak orang yang dilibatkan. Termasuk keluarga jauh pun diundang untuk menghadiri prosesi nyorong ini, sembari memperkenalkan diri kepada calon keluarga barunya. 3 Baca Suku Tidung Baca Tradisi SungkemanMakna Filosofis Selain itu ada pula simbol-simbol yang mengandung falsafah dari upacara Nyorong ini. Pihak laki-laki biasanya melengkapi rombongan mereka dengan beberapa batang tebu yang melambangkan keperkasaan seorang laki-laki. Sedangkan dirumah calon pengantin wanita biasanya akan terlihat sebatang pohon pisang. Hal tersebut sesuai dengan simbol sebuah nasehat khas Sumbawa yakni Mara Punti Gama Untung contohilah daun pisang Den Kuning No Tenri Tana daun menguning tak tersentuh tanah Mate Bakolar Ke Lolo sampai matipun tetap bersama Dari sebatang pohon pisang tersebut diharapkan kedua mempelai mampu meneladaninya dalan membangun rumah tangga yang sakinah. Karena pisang walaupun daunnya menguning tetap menetap dipohonnya, tak tersentuh tanah, sampai matipun tetap bersama. Begitulah Lawas-Lawas Samawa sangat erat dengan makna-makna filosofi yang hingga kini masih menjadi bagian dari kehidupan masarakat Sumbawa. 4 ArticlePDF Available AbstractSastra lisan merupakan media pengungkap ekspresi manusia yang hidup dan berkembang pada masyarakat pemiliknya. Sastra lisan sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari kandungan nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut sangat bersifat konstektual. Masyarakat Sumbawa Samawa mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, salah satunya dalam bentuk puisi lawas.Lawas dikenal luas pada masyarakat Samawa sejak zaman dahulu sampai saat ini. Lawas begitu melekat dalam kehidupan masyarakat Samawa sehingga lawas mempunyai berbagai bentuk ekspresi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Lawas yang mempunyai berbagai bentuk ekspresi disajikan dalam berbagai konfigurasi. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budaya Samawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk struktur, isi, dan penyajian lawas, seperti dalam penyajian lawas pada yang terbangun dalam sastra lisan lawas mencerminkan gambaran budaya Nusantara sebagai wujud persahabatan dan berterimanya terhadap budaya lain. Bentuk lawas mempunyai kesamaan dengan pantun Bugis dan patu’u Bima ditunjukkan dari jumlah baris, yakni yang mempunyai bentuk tiga baris. Isi lawas sangat kontektual. Peristiwa dalam berbagai lapisan masyarakat mampu terakomodasi dengan baik menjadikan lawas sebagai media persahabatan. Lawas sebagaimana sastra lisan yang lain ciri utama penyampaiannya dalam bentuk pertunjukkan seperti, sakeco, ngumang, begero, saketa yang memadukan berbagai peralatan seperti rebana ode/rea, serunae, genang dan sebagainya yang banyak digunakan oleh masyarakat di luar Samawa. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Lawas Samawa dalam Konfigurasi Budaya Nusantara Made Suyasa Abstrak Sastra lisan merupakan media pengungkap ekspresi manusia yang hidup dan berkembang pada masyarakat pemiliknya. Sastra lisan sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari kandungan nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut sangat bersifat konstektual. Masyarakat Sumbawa Samawa mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, salah satunya dalam bentuk puisi lawas. Lawas dikenal luas pada masyarakat Samawa sejak zaman dahulu sampai saat ini. Lawas begitu melekat dalam kehidupan masyarakat Samawa sehingga lawas mempunyai berbagai bentuk ekspresi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Lawas yang mempunyai berbagai bentuk ekspresi disajikan dalam berbagai konfigurasi. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budaya Samawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk struktur, isi, dan penyajian lawas, seperti dalam penyajian lawas pada sakeco. Konfigurasi yang terbangun dalam sastra lisan lawas mencerminkan gambaran budaya Nusantara sebagai wujud persahabatan dan berterimanya terhadap budaya lain. Bentuk lawas mempunyai kesamaan dengan pantun Bugis dan patu’u Bima ditunjukkan dari jumlah baris, yakni yang mempunyai bentuk tiga baris. Isi lawas sangat kontektual. Peristiwa dalam berbagai lapisan masyarakat mampu terakomodasi dengan baik menjadikan lawas sebagai media persahabatan. Lawas sebagaimana sastra lisan yang lain ciri utama penyampaiannya dalam bentuk pertunjukkan seperti, sakeco, ngumang, begero, saketa yang memadukan berbagai peralatan seperti rebana ode/rea, serunae, genang dan sebagainya yang banyak digunakan oleh masyarakat di luar Samawa. Kata Kunci Sastra lisan, lawas, budaya Pengajar pada Universitas Muhammadiyah Mataram ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa 1. Pengantar Etnis Sumbawa Samawa mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman dahulu, salah satunya dalam bentuk puisi lisan. Puisi lisan yang dikenal dengan nama lawas merupakan media komunikasi dan ekspresi bagi masyarakat pemiliknya. Lawas sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut sangat bersifat kontekstual. Lawas sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa Samawa merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Cerminan nilai budaya daerah telah digunakan dalam mengembangkan budaya nasional, sehingga menempatkan sastra lisan sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang harus dilestarikan. Maka sudah sepantasnyalah mendapatkan perhatian dari semua pihak untuk menindaklanjuti semua itu dalam berbagai bentuk kegiatan. Lawas telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakatnya dalam berbagai aktivitas kehidupan, seperti saat menuai padi, karapan kerbau, upacara adat keagamaan seperti perkawinan dan sunatan, serta dalam berbagai bentuk hiburan. Lawas tidak dimiliki oleh perorangan tetapi merupakan milik bersama masyarakat sebagaimana sastra lisan yang hidup di daerah lain. Secara turun temurun lawas dalam penyampaiannya dinyanyikan baik oleh perorangan maupun kelompok yang disebut balawas. Balawas kemudian menjadi sebuah seni penyampaian lawas yang dipertunjukkan dihadapan orang banyak untuk keperluan upacara adat atau hiburan. Balawas di samping memanfaatkan lawas dan temung tembang ada juga memanfaatkan seni lain sebagai pendukungnya yakni seni musik. Balawas kemudian menjadi seni menyampaikan lawas yang Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 dikenal dalam bentuk saketa, gandang, ngumang, sakeco, langko, badede, dan basual Suyasa, 20027. Kehidupan sastra lisan akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat pemiliknya Tuloli,19912. Perubahan tersebut meliputi pola dan cara pandang tentang kehidupan, serta terbatasnya kemampuan masyarakat dalam menginterpretasikan warisan budaya yang diterimanya. Kemampuan yang terbatas pada masyarakat dalam mewarisi kekayaan budaya yang berupa sastra lisan serta adanya arus pengaruh dari luar akan menyebabkan hilangnya beberapa bentuk sastra serta terjadinya pergeseran makna, fungsi, dan timbulnya variasi bentuk. 1984330 mengatakan bahwa sastra lisan pun sering mempunyai dinamika intrinsik yang kuat sekali ataupun berubah akibat pengaruh asing tulis atau lisan. Sastra lisan di Indonesia sangat memungkinkan terjadinya perubahan, hal ini akibat pergesekan antar budaya yang sangat tinggi walaupun pada beberapa ragam dasar barangkali bertahan lama. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budaya Samawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk struktur, isi, dan penyajian lawas. Konfigurasi yang terbangun dalam sastra lisan lawas mencerminkan gambaran budaya Nusantara sebagai wujud persahabatan dan berterimanya terhadap budaya lain. Bentuk lawas juga mempunyai beberapa kesamaan seperti dengan pantun Bugis dan patu’u Bima ditunjukkan dari jumlah baris yakni yang mempunyai betuk tiga baris. Isi lawas sangat kontektual peristiwa dalam berbagai lapisan masyarakat mampu terakomodasi dengan baik menjadikan lawas sebagai media ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa komunikasi dan persahabatan. Lawas sebagai mana sastra lisan yang lain ciri utama penyampaiannya dalam bentuk pertunjukan lisan seperti, balawas, sakeco, saketa, ngumang, gandang, langko, badede, basual yang juga memadukan berbagai peralatan seperti rebana ode/rea, serunae, genang dan lain sebagainya yang punya kemiripan dengan daerah di luar Samawa. Ekspresi sastra lisan lawas Samawa yang tercermin dalam bentuk, isi, dan penyajian lawas merupakan bagian dari sebuah gambaran konfigurasi budaya Nusantara yang perlu ditelusuri lebih jauh untuk mengetahui keberadaannya dalam masyarakat, proses perkembangannya, dan ragam penyampaiannya yang sangat kontekstual. Dalam konteks ini budaya sebagai wahana perekat antar masyarakat antar suku bangsa setidaknya mampu meminimalkan berbagai persoalan yang muncul dikemudian hari. Dalam tulisan singkat ini penulis mencoba untuk mengangkat persoalan ini dengan harapan akan dapat memberikan informasi tentang keberadaan lawas Samawa dengan berbagai bentuk dan perkembangannya. Di samping itu, sebagai bentuk kepedulian kita terhadap keberadaan sastra lisan yang semakin lama semakin sedikitnya mendapat perhatian dari para peneliti sastra dan juga masyarakat pemiliknya termasuk pemerintah daerah. Sebagai bentuk penyadaran akan betapa besarnya sumbangan yang telah diberikan oleh sastra lisan lawas sejak zaman dahulu hingga saat ini dalam menjaga nilai-nilai kearifan budaya lokal dan nusantara. Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 2. Pembahasan Perjalanan Sejarah Sumbawa Sumbawa adalah sebuah pulau yang ditempati oleh empat kabupaten dan satu kota madya, lawas tumbuh, hidup, dan berkembang di dua kabupaten yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat KSB yang dulunya menjadi satu kabupaten dan pada beberapa tahun yang lalu berpisah membentuk kabupaten sendiri yaitu KSB. Namun kedua kabupaten ini mempunyai sejarah perkembangan yang sama dan bahasa yang sama yakni bahasa Sumbawa, Kota Sumbawa Besar sebagai pusat pemerintahan pada zaman Kesultanan Sumbawa telah menjadi pusat peradaban kebudayaan Samawa, dan dari sinilah simpul-simpul budaya Samawa menyebar ke wilayah timur dan barat Sumbawa. Beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa nama Sumbawa sudah dikenal dalam berita Cina tahun 1225 dari Chau-Ju-Kua yang menulis Chu-Fan-Chi, yang menyebut nama Sumbawa sebagai daerah taklukan kerajaan Kediri Jawa. Dalam syair ke empat belas dari Negara Kertagama 1365 disebut nama tertinggi pulau Sumbawa yang telah menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit seperti Taliwang, Dempo Dompu, Sapi Sape, Bhima Bima, Ceran seran, seteluk, Hutan Utan. Nama Sumbawa juga muncul dalam Kidung Ranggalawe dan Kidung Pamancangah yang menyebut kuda-kuda Sumbawa yakni di Kere Bima tepatnya di teluk Sanggar bagus. Selain itu, dalam Kidung Pamancangah disebut pula tentang penguasa Bedahulu Bedulu Bali yang bernama Ki Pasung Grigis atas perintah Jawa mengadakan ekspedisi Chambhawa Sumbawa. Catatan sejarah berlanjut ketika mulai masuknya Islam yang menurut Zollinger bahwa Islam masuk ke pulau Sumbawa antara tahun 1440-1450 dan agama ini tersiar dari Jawa. ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa Dalam Babad Lombok juga dikatakan bahwa Islam dari Jawa masuk ke Sumbawa, Dompu, dan Bima melalui Lombok, namun hal ini dibantah dalam Bo Mbojo Kronik Bima yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Bima via Makasar. Zollinger 1850 menyebut adanya interaksi yang cukup menarik di luar penduduk asli Sumbawa yakni adanya kehadiran sejumlah besar orang-orang Bugis, Makasar, dan Bajo yang berdiam di sepanjang pantai utara Sumbawa. Ligchvoet 1876 juga menyebutkan selain kedatangan orang Bugis dan Makasar ke pulau ini juga ke datangan orang Selayar, Mandar, dan Arab. Sumbawa tampaknya menjadi daerah yang sangat menarik dan terbuka bagi setiap pendatang sehingga pulau ini menjadi semakin beragam penghuninya yakni dari berbagai suku bangsa. Lebih dari seperempat abad sebelum Ligchvoet dan Zollinger menyebut pula orang-orang asing lain di Sumbawa, misalnya dari Jawa, Bali, Sasak, dan Manggarai. Mereka adalah keturunan dari orang-orang yang datang pada abad sebelumnya Syamsuddin, 19829. Seperti halnya dengan kesultanan Bima, kesultanan Sumbawa juga menjalin hubungan dan berorientasi ke utara yaitu Sulawesi Makasar yang ditindaklanjuti dengan perkawinan politik untuk mengimbangi apa yang dilakukan oleh kesultanan Bima. Di samping itu, hubungan dan orientasi kesultanan Sumbawa juga di arahkan ke barat semula menunjukkan perhatian ke Selaparang Lombok dimana Sumbawa sempat menguasai Lombok bagian timur namun harus berkompetisi dengan Bali yang akhirnya Sumbawa terdesak pada abad ke-18. Namun pada abad ke-19 setelah beberapa tahun Indonesia merdeka Sumbawa-Lombok bersatu kembali menjadi provinsi Nusa Tenggara Barat dengan ibu kotanya Mataram sampai saat ini. Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 Lawas sebagai Puisi Rakyat Membicarakan sastra lisan sebagai sastra rakyat yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakatnya di wilayah Nusantara menjadi sangat menarik, mengingat bentuk ekspresi yang berbeda-beda. Menurut Hutomo 199160 dalam sastra lisan atau kesusastraan lisan ekspresi kesusastraan masyarakat sebenarnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu 1 sastra lisan yang lisan murni adalah sastra lisan yang benar-benar dituturkan secara lisan; dan 2 sastra lisan yang setengah lisan adalah sastra lisan yang penuturannya dibantu oleh bentuk-bentuk seni yang lain. Dalam sastra lisan murni seperti puisi rakyat disampaikan dengan dilagukan/diiramakan menggunakan irama/tembang. Sastra lisan yang setengah lisan disampaikan dengan bantuan seni lain seperti gendang, rebana, gong, seruling, dan sebagainya. Dari segi genre atau jenis sastra lisan dapat berbentuk puisi rakyat, prosa rakyat, dan teater rakyat. Lawas sebagai puisi rakyat dikatakan sebagai ciptaan manusia yang dilahirkan dan dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulisan yang menimbulkan rasa keindahan dan keharuan dalam lubuk jiwa manusia Rayes, 19914. Lawas sebagai puisi rakyat hingga kini masih tetap menjadi bentuk ekspresi masyarakatnya sebagai milik bersama rakyat bersahaja secara turun-temurun folk literature. Lalu Manca mengemukakan bahwa lawas dikatakan sama dengan sanjak yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang pujangga dari kota Lawas. Lawas dikatakan mendapat pengaruh ā€œElompugiā€ Elong Ugi syair Bugis. Lawas adalah syair yang terdiri dari 3,4,6 baris dan tiap barisnya terdiri dari delapan suku kata Manca, 198434. Mengenai kata lawas yang diidentikkan dengan nama salah satu kota asal pujangga yang membawanya banyak budayawan Sumbawa menolak perkiraan itu, ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa karena lawas tumbuh, hidup dan berkembang dari bahasa Samawa. Sumarsono,dkk. dalam Kamus Sumbawa-Indonesia terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, lawas adalah sejenis puisi tradisi khas Sumbawa, umumnya terdiri dari tiga baris, biasa dilisankan pada upacara-upacara tertentu 198575. Sebagai bentuk ekspresi yang paling dikenal dalam masyarakat, lawas merupakan cermin jiwa anak-anak, getar sukma muda-mudi, dan orang tua. Berdasarkan ekspresinya kandungan isi lawas dikenal sebagai lawas tau ode anak-anak, lawas taruna dadara muda-mudi, dan lawas tau loka orang tua. Lawas Tau Ode, lawas yang isinya tentang dunia anak-anak. Lawas anak-anak biasanya disampaikan sebagai bentuk ekspresi rasa kasih sayang seorang ibu atau kakak yang sedang mengasuh sang bayi, lawas jenis ini biasanya disampaikan saat akan menidurkannya. Dede intan mua dewa Duhai sayang duhai gusti Mua bulaeng tu tino Duhai emas yang di dulang Cante jina asi diri Sungguh pandai meratap diri Lawas Taruna-Dadara, lawas yang isinya tentang perkenalan, percintaan, perpisahan, dan lain sebagainya. Ajan sumpama kulalo Seandainya aku bertandang Kutarepa bale andi Mampir di rumah adinda Beleng ke rua e nanta Adakah gerangan belas kasihan Lawas Tau Loka, lawas yang isinya tentang nasehat atau pesan bersifat dedaktis yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya atau kepada yang lebih muda. Lawas ini biasanya berisikan ajaran moral, agama dan lawas ini sering dipakai untuk menasehati pasangan pengantin. Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 Pati pelajar we ate Patuhi ajaran wahai sukma Namun pina buat lenge Jangan tunaikan laku buruk Pola tu leng desa tau Tahu diri dirantau orang Lawas sebagai puisi rakyat yang hidup dalam masyarakat Samawa telah dijadikan sebagai performing art karena di dalam penyajian/ penyampaian lawas menggunakan irama lagu tertentu temung yang disesuaikan dengan bentuk penyampaiannya. Penyampaian lawas Samawa secara garis besar ada dua versi yang dikenal dengan versi Ano Siyup daerah dibagian timur /tempat matahari terbit dan versi Ano Rawi daerah di bagian barat/ tempat matahari terbenam. Versi Ano Siyup berkembang di daerah tertentu yakni dibagian timur kabupaten Sumbawa Empang, Pelampang, Moyo Hilir/Hulu, Kota Sumbawa, versi ini dalam penyampaian lawas-nya mempunyai irama yang sedikit lebih lambat. Sedangkan versi Ano Rawi berkembang di daerah bagian barat kabupaten Sumbawa meliputi Kecamatan Utan, Alas, dan daerah kecamatan di Kab. Sumbawa Barat Taliwang, Seteluk, Jereweh, versi ini dalam penyampaian lawas-nya mempunyai irama yang lebih cepat, karena itu dalam penyapaian lawas sakeco yang menggunakan rebana versi ini biasanya memakai rebana ode yang suaranya lebih kecil dan melengking. Penyampaian lawas ada dalam berbagai bentuk dengan temung dan ada dengan peralatan musik seperti rebana ode, rea,serunae, gong genang, bentuk penyampaian tersebut seperti, balawas, gandang, saketa, ngumang, badede, basual, langko, dan sakeco. Balawas, bentuk penyampaian lawas dimana lawas yang disampaikan secara beramai-ramai oleh para wanita bianya dalam rangkaian perkawinan. Lawas yang biasanya disampaikan pada saat seperti ini disesuaikan dengan upacara yang dilaksanakan, seperti ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa pengantin sedang barodak luluran atau setelah akad nikah, resepsi perkawinan biasanya lawas yang dilantunkan adalah lawas muda-mudi dan lawas yang berisi nasehat. Gandang, sekelompok muda-mudi yang melantunkan lawas dengan diiringi serune seruling atau pukulan alu. Jika lawas disampaikan dengan iringan seruling disebut gandang suling, sedangkan jika diiringi pukulan alu disebut gandang nuja. Saketa, lawas yang dikumandangkan oleh sekelompok orang sebagai pernyataan kegirangan atau pembangkit semangat saat mengadakan permainan rakyat atau bergotong royong membangun rumah dan mengangkat kayu-kayu untuk menyemangati. Ngumang, lawas yang disampaikan pada saat acara karapan kerbau dan berempuk tarung tradisional ala Samawa dimana bertujuan untuk menyemangati para peserta dan juga membangkitkan semangatnya dengan menyampaikan lawas. Badede, menembangkan lawas yang ditujukan untuk anak menjelang tidur menina bobokan. Lawas yang biasanya dinyanyikan oleh seorang ibu atau kakak yang meninabobokan atau mengasuh bayi, dan lawas yang disampaikannya pun adalah lawas permohonan kepada Tuhan agar anak panjang umur, berguna bagi keluarga, agama, nusa dan bangsa. Basual, berasal dari kata sual artinya soal, basual adalah menyampaikan soal yang berupa sampiran dari sebuah lawas dan mengharapkan jawaban berupa isi dari peserta yang hadir. Basual biasanya dilakukan oleh masyarakat Samawa pada saat gotong royong mengerjakan rumah atau sedang memotong padi di sawah atau setelah acara perkawinan berlangsung. Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 Langko, penyampaian lawas yang dilakukan oleh sekelompok pemuda dan sekelompok pemudi yang saling beradu lawas cinta. Lawas yang disampaikan dalam langko berbeda dengan basual, dimana saat malangko lawas yang disampaikan harus dijawab dengan lawas yang tidak kalang pentingnya adalah keindahan temung. Sakeco, bentuk penyampaian lawas yang paling digemari oleh masyarakat Samawa karena isi dan bentuk penyampaiannya yang sangat komunikatif, dan lawas yang disampaikannya pun dari berbagai jenis dengan irama temung yang sangat variatif. Sakeco sebagai seni penyampaian lawas menggunakan rebana sebagai pengiringnya yang selalu menyesuaikan dengan irama temung. Berbagai konfigurasi telah terbangun di antara pilar-pilar yang membangun lawas sebagai puisi rakyat, apakah pilar berupa bentuk lawas, pilar isi yang menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang dan juga muatan kepentingan, serta pilar yang berwujud penyampaian sebagai bentuk kedekatan lawas dengan masyarakatnya dalam menjalin komunikasi sekaligus sebagai media pewarisan puisi rakyat. Tonggak Budaya Samawa Lawas yang dikenal luas dalam masyarakat Samawa tidak diketahui kapan kemunculannya sebagai sastra lisan yang hidup secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya yang penyebarannya dari mulut ke mulut. Menyadari akan keberadaannya sebagai sastra lisan, lawas sulit untuk ditelusuri kapan mulainya dan bagaimana awal mula bentuk dan pemanfaatannya oleh masyarakat Samawa. Data-data sejarah mengenai awal keberadaan lawas belum pernah dijumpai sampai saat ini Rayes, 19913. ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa Lawas yang berinduk pada bahasa Samawa tak dapat pula diketahui kapan mulai pertumbuhannya di tengah-tengah masyarakat. Yang jelas ketika penduduk Sumbawa hidup dalam lingkungan masyarakat yang masih primitif, di saat itulah bahasa Sumbawa awal mulanya tumbuh setelah melalui berbagai proses dan pembauran kebudayaan aneka suku bangsa yang menghuni tana Samawa. Lawas telah menjadi bagian dari bentuk ekspresi masyarakat dalam berbagai aktivitas kehidupannya, seakan lawas adalah tempat mereka berkeluh kesah, bersenda gurau, merekam berbagai peristiwa, merenungkan berbagai nilai-nilai kebijakan baik dalam bentuk petuah adat maupun agama. Kehadirannya dalam kehidupan kultur manusia mula pertama hanya berperan sebagai alat ekspresi suasana batin manusia dan sebagai alat perekam peristiwa di seputar kehidupannya. Jika suasana batin manusia diliputi haru, sendu, gundah-gulana karena musibah atau datangnya bencana yang mengancam hidupnya maka untuk menanggulanginya dicurahkan perasaannya dalam bentuk kata-kata bertuah/mantra untuk mengusirnya. Mereka memberi jampi pada senjata yang mengawal hidupnya, mengadakan pemujaan lewat mantra-mantra untuk mengusir hal-hal yang menimbulkan marabahaya Rayes, 19913.Gambaran di atas mengingatkan kita awal mula kepercayaan masyarakat pada animisme yang pernah ada pada masyarakat Samawa zaman dahulu. Agaknya inilah peran awal kemunculan lawas yang diawali dari mantra sebagai bentuk puisi yang dianggap paling tua di nusantara sejak kepercayaan animisme. Sebagaimana salah satu ciri dari sastra lisan pada umumnya, lawas tidak dimiliki oleh perorangan tetapi merupakan milik bersama masyarakat kolektif Tau Samawa sebagai ciri dari masyarakat komunal. Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 Karena itu lawas hidup pada setiap hati masyarakat pemiliknya, paling tidak setiap penduduk yang menghuni kabupaten Sumbawa mengenal lawas sebagai puisi rakyat. Sebagai puisi rakyat, lawas dilantunkan ketika memasuki pintu rumah sang gadis yang akan dipinangnya. Kaling anar mo ku ngongko Dari tangga saya jongkok Santeris lawang ku sonap Selanjutnya pintu kulalui Pendi ke aku rua na Kasihanilah diriku Setelah lawas dilantunkan barulah rombongan dipersilahkan masuk rumah sang gadis dan pembicaraan pun diawali dengan bait-bait lawas. Lawas hadir dalam berbagai aktivitas kehidupan mulai dari hiburan, upacara ritual adat hingga hajatan yang diselenggarakan pemerintah. Lawas telah menjadi salah satu bentuk pengungkapan maksud atau keinginan sekelompok orang. Lawas sering dipakai untuk memulai suatu pembicaraan, menyampaikan maksud dan juga menutup pembicaraan dalam sebuah pidato upacara adat atau resmi. Berikut contoh lawas menutup suatu pidato. Kaku ojong si parana Telah siap ku berpayung Tiris no ku beang basa Tak kan ku biarkan basah kuyup Ujan tampear ku keme Namun hujan lebat pun mengguyur Kadatang sangka Kuterima kedatangan anda ku angkang dengan terbuka Mole ku santuret kemang Pulang kami sertakan sekuntum bunga Lema mampis bawa rungan Supaya membawa berita yang harum Peristiwa yang terekam lewat lawas telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya dengan ekspresi dalam bentuk bahasa yang penuh daya puitik. Sebagai perekam peristiwa tidak sedikit cuplikan peristiwa, kritik terhadap ketidaknyamanan dalam kehidupan ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa bermasyarakat, sejarah, cerita tertuang begitu indah dan runut tersaji melalui lawas tutir seperti Lalu Dia Lala Jinis, Merebat Bore, Kisah Batu Gong, Tanjung Menangis,Dadara Nesek dan masih banyak yang lainnya. Jelaslah dalam hal ini, lawas telah menjadi media komunikasi dan sebagai tonggak kebudayaan masyarakat Samawa. Ketika masyarakat Samawa mulai mengenal zaman tulisan, lawas mulai ditulis dengan satra jontal huruf Sumbawa yang mirip dengan aksara suku Bugis Lontara, walaupun kebanyakan lawas yang ditulis adalah lawas tutir cerita, silsilah, dan sejarah pahlawan sakti. Lawas yang ditulis dengan menggunakan aksara Sumbawa dalam lembaran daun lontar kemudian disimpan dalam tabung bambu yang dikenal dengan nama bumung. Karena disimpan dalam tabung bambu banyak lontar yang tidak terpelihara dengan baik sehingga lontar-lontar tersebut tidak lagi dapat dibaca untuk diketahui isinya. Perkembangan lawas tidak hanya sampai pada merekam peristiwa saja, namun lawas ketika zaman tulisan oleh para seniman lawas juga menciptakan lawas-lawas keagamaan/lawas akhirat yang berisi pujian kepada Tuhan Yang Mahaesa dan keagungan/keluhuran agama Islam, lawas ini kemudian dikenal lawas pamuji. Di zaman Sultan Sumbawa, seorang ulama terkenal yang juga seniman lawas, Haji Muhammad Dea Kandhi, menciptakan lawas agama yang ditulis dengan huruf Arab. Lawas tersebut terkumpul dalam buku Pamuji yang sampai kini masih tersimpan pada keturunan beliau dan orang-orang tertentu. Di zaman sekarang ini sudah banyak kumpulan lawas yang sudah dicetak atau diterbitkan, baik yang diciptakan sekarang maupun yang dikumpulkan dari lawas-lawas yang pernah hidup di zaman lisan dahulu. Salah satu buku yang diterbitkan oleh Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Sumbawa 2007 adalah karangan Usman Amin yang Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 berjudul Kumpulan Lawas ā€œKukokat Lawas Siyaā€ yang memuat Lawas Dunia & Pergaulan serta Lawas Akhirat & Keagamaan. Lawas sebagai sastra lisan dalam penyebarannya disampaikan dalam berbagai bentuk pertunjukan dalam berbagai kesempatan, sehingga lawas menjadi performing art yang selalu menarik penggemarnya untuk menyaksikan walaupun harus sampai semalam suntuk. Pertunjukan lawas telah menjadi bagian dari setiap acara kegiatan baik adat maupun acara-acara keagamaan atau acara resmi sehingga kurang lengkap tanpa kehadiran pertunjukan lawas terutama dalam bentuk sakeco yang banyak diminati masyarakatnya karena mampu menjadi media komunikasi yang efektif. Di kalangan pemerintah Daerah Sumbawa pertunjukan lawas telah lama dipakai sebagai media untuk memasyarakatkan program pemerintah mulai dari ABRI Masuk Desa, Keluarga Berencana, Kesehatan, P4, Kampanye Parpol, pariwisata, dan sebagainya. Dari gambaran di atas, jelaslah bahwa hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Samawa mewarnai perkembangan lawas dan begitu pula sebaliknya lawas telah menjadi bagian dari tonggak kehidupan masyarakatnya. Konfigurasi Budaya Nusantara Menyimak perjalanan sejarah Sumbawa di masa lalu jelaslah bahwa interaksi masyarakat Sumbawa dengan orang-orang luar sudah berlangsung berabad-abad. Hubungan itu tentu saja dilakukan oleh suku-suku bangsa ini, baik di pulau Sumbawa sendiri maupun antar suku dan pulau maka berlangsunglah silih berganti antara kompetisi dan konflik, meskipun terjadi pula eksplorasi dan kooperasi. Cara-cara hidup yang masih eksklusif dari masing-masing kelompok etnis yang dianggap mempersulit interaksi kooperatif terbukti mampu dicairkan melalui ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa kreasi-kreasi budaya. Akulturasi budaya yang begitu lama pada masyarakat Sumbawa kini telah menghasilkan berbagai konfigurasi budaya yang bernuansa etnis nusantara. Konfigurasi dalam konteks ini adalah wujud dari hasil perpaduan budaya yang dihadirkan dalam bidang seni khususnya pada puisi rakyat Sumbawa yang berupa lawas. Pengaruh dan gesekan kehidupan masyarakat menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, hingga terjadinya keinginan untuk tukar-menukar dan saling mempengaruhi kebudayaan. Ini terjadi dalam bentuk puisi rakyat Sumabawa dimana bentuk lawas tiga baris sebagai pengaruh puisi lisan Bugis yakni ā€œElong, Kelongā€ yang sampai kini masih bertahan pada kolektif Bugis di beberapa wilayah pesisir pantai di NTB Sumbawa, Bima, Dompu, dan Lombok. Pengaruh bentuk ini dapat dibandingkan pada contoh berikut. Ketengero muita Lihatlah bulan itu Aliliq alibunna Lingkarannya bundar Atikkuq rilaling Bugis Begitu pula hatiku di dalamnya Kele tau barang kayu Walaupun orang itu tidak dikenal Lamento sanyaman ate Kalau dia baik budinya Benansi sanak parana Itulah dia saudara kita Samawa Dari data di atas kedekatan kedua bentuk puisi rakyat tersebut tampak dalam urutan penyampaian maksud dimana pada baris ke tiga menjadikan simpulan dari bait tersebut. Jika diperhatikan dari jumlah suku kata setiap barisnya tidaklah sama jumlah suku kata dalam lawas rata-rata 8 suku kata sedang elong rata-rata 7 suku kata. Kerajaan budaya Makasar Goa yang sudah lama tahun 1600-an memasuki Kesultanan Sumbawa, dalam hubungan tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya interfensi budaya dan di samping adanya persebaran yang Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 merata pada orang-orang Bugis di wilayah Sumbawa yang mempercepat proses pembauran. Mengingat tingginya interaksi tau Samawa dengan penduduk pendatang yang dengan segala tingkah polahnya telah menjadi inspirasi bagi para seniman tukang lawas dalam menciptakan lawas. Berbagai cerita berkembang dalam pergaulan antar komunitas, ia saling menjaga hubungan baik dalam kerangka menciptakan kedamaian di tana Samawa maka terciptalah sebuah lawas tutir prosa liris Kisah Batu Gong gubahan Haji Maswarang dari Desa Pamulung, Sumbawa. Kisah Batu Gong menceritakan dua sahabat yakni Garantung dari Makasar dan Kaki Ranggo dari Bali yang sama-sama terdampar di Labuhan Padi, tepatnya di Desa Orong Bawa di wilayah Kecamatan Utan mereka bersepakat menjadi sahabat untuk saling membentu membangun tana Samawa. Untuk mengenang persahabatan mereka lalu membangun sebuah tempat yang bernama Batu Gong di sana ada sekumpulan batu yang berbentuk seperti gong besar yang dikelilingi oleh batu-batu kecil yang melambangkan persatuan seolah isi lawas tersebut membangun sebuah konfigurasi budaya Nusantara di tana Samawa. Berikut kutipan salah satu bait Kisah Batu Gong yang disampaikan dalam Sakeco. - - Kajiranan po sia e Setelah itu ya Tuan Mufakat tau telu nan Bermufakat mereka bertiga Beling koa Kaki Ranggo Kaki Ranggo berkata Oe Garantung balong ate Wahai Garantung yang baik hati Saboe pangeto mu balong Mari amalkan pengetahuanmu Coba tupina batu gong Coba kita buat batu gong Ada detu bilin mate Agar ada yang kita tinggalkan mati Lemanakata lupa kita Kita tidak akan dilupakan Dadi sajara pang mudi Nantinya akan menjadi sejarah Masa si era ya bangun Diakhir masa nanti dibangun Dadi tokal pariwisata Jadi tempat pariwisata ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa Kunjungan ling s area tau Di datangi oleh semua orang - - Batu Gong hingga saat ini menjadi sebuah tempat pariwisata di Sumbawa yang ramai dikunjungi wisatawan, seolah-olah magnet Batu Gong yang terpancar dari dua sahabat berbeda suku dan agama telah lama menanamkan semangat persatuan dan kebersamaan dengan menyingkirkan perbedaan yang ada. Inilah sebuah gambaran toleransi yang telah dibangun melalui media seni berupa lawas. Lawas-lawas yang disampaikan dalam sakeco memang penuh dengan pesan, sindiran, ejekan, dan terkadang lucu dan porno yang membuat para pendengar tersenyum sipu. Memang lawas yang dipertunjukkan sangat kontekstual dari segi isi, penanggap sakeco dapat memesan sesuatu kepada tukang lawas agar keinginan pemesan bisa disampaikan kepeda penonton melalui pertunjukan lawas. Tukang lawas sangat menguasai formula lawas, yakni kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk mengemukakan ide pokok tertentu Lord, 197630. Pewarisan lawas sebagai puisi lisan dilakukan dari mulut ke mulut sejak zaman dahulu, pengaruh dan kemajuan zaman menyebabkan pewarisan disampaikan melalui seni pertunjukan. Pewarisan puisi lisan dalam masyarakat Sumbawa kini dilakukan dalam bentuk seni pertunjukan seperti pada sakeco. Sakeco muncul sebagai seni pertunjukan merupakan bentuk perkembangan dari Ratif yang melantunkan lagu-lagu yang bernafaskan Islam yang diiringi pukulan rebana. Mengingat ratif yang penuh dakwah menjadikan penonton kurang terhibur karena syair-syair yang dilantunkan diambil dari Kitab Hadroh yang berbahasa Arab. Ratif yang penuh dakwah menyebabkan penonton pendengar kurang mendapat hiburan yang sifatnya gembira Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 atau lucu, hal ini menyebabkan kehadiran lawas sebagai seni pertunjukan lawas mendapat tempat di hati masyarakat. Pertunjukan sakeco pertama kali dimainkan oleh dua orang tukang lawas dari daerah ano rawi Taliwang bernama Zakaria dan Syamsuddin. Kedua orang ini selalu tampil melantunkan lawas-lawas Samawa dengan iringan rebana, pasangan ini dikenal dengan nama Sake panggilan untuk Zakaria dan Co panggilan untuk Syamsuddin yang kemudia Sake dan Co menjadi sebauh kata yaitu Sakeco. Pendapat lain ada yang mengatakan bahwa kata sakeco telah ada sebelum masuknya Islam ke tana Samawa dan tidak mungkin istilah tersebut bentukan dari nama dua orang tersebut. Kata sakeco dalam tuturan sehari-hari bahasa Sumbawa tidak ada selain digunakan untuk istilah tersebut, karena itu kata sakeco perlu ditelusuri lebih jauh keberadaannya. Seni pertunjukan ini mendapat pengaruh Melayu dan Arab yang merupakan konfigurasi budaya Nusantara. Seni tabuh berupa rebana dapat kita jumpai hampir di semua daerah di Indonesia dan sejenis sakeco dapat juga kita temui dalam seni Kentrung di Jawa Timur. Sakeco dapat dikategorikan sebagai seni pertunjukan rakyat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat wong cilik. Kehidupan pertunjukan sakeco ditunjang oleh penanggapnya, tidak ada penjualan tiket dan jauh dari seni komersial. Dalam pertunjukan lawas sakeco antara pemain dengan penonton seakan tidak ada jarak, ikatan emosional pemain dan penonton begitu dekat. Sakeco dalam pertunjukannya menampilkan cerita rakyat berupa legenda, peristiwa sejarah atau kejadian-kejadian dalam kehidupan masyarakat yang digubah ke dalam lawas tutir cerita. Tutir yang berupa lawas disampaikan menggunakan temung yang disesuaikan dengan isi tutir itu sendiri sedih, gembira mereka sampaikan dengan penuh ekspresi. Selain itu dalam masyarakat ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa Samawa juga dikenal seni bakelong, bentuk penyampaian elong Bugis yang juga dipadukan dengan lawas Samawa. Seni petunjukan ini juga cukup diminati oleh masyarakat Sumbawa. Seni pertunjukan di Nusantara telah mampu tumbuh dan beralkulturasi di daerah baru sebagai wujud keindonesian. 3. Penutup Lawas sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa Samawa merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Sebagai hasil budaya lawas merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut bersifat universal dan kontekstual. Lawas sebagai ekspresi masyarakat Samawa telah menyajikan sebuah konfigurasi budaya. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budaya Samawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk struktur, isi, dan penyajian lawas. Pewarisan lawas sebagai puisi lisan dilakukan dari mulut ke mulut sejak zaman dahulu, pengaruh dan kemajuan zaman menyebabkan pewarisan disampaikan melalui seni pertunjukan. Pewarisan puisi lisan dalam masyarakat Sumbawa kini dilakukan dalam salah satu bentuk seni pertunjukan yaitu sakeco. Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 Daftar Pustaka Amin, Usman. 2007. Kukokat Lawas Siya Kumpulan Lawas Sumbawa. Sumbawa Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah. Bahri, Syaiful. 2008. Distribusi dan Pemetaan Bentuk/Jenis Karya Sastra yang Tumbuh dan Berkembang pada Masyarakat Tutur Bahasa Bugis di Kabupaten Sumbawa. Mataram Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa, Kantor Bahasa Provinsi NTB. Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta Grafiti. Depdikbud, NTB. 1988. Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Mataram Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudyaan Daerah. Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Malang Mitra Alam Sejati. Lord, Albert B. 1976. The Singer of Tales. New York Atheneum. Manca, Lalu. 1984. Sumbawa pada Masa Lalu Suatu Tinjauan Sejarah. Surabaya Rinta. Noorduyn, J. terjemahan Muslimin Jasin. 2007. Sejarah Sumbawa. Yogyakarta RIAK Riset Informasi dan Arsip Kenegaraan. Rayes, Dinullah. 1991. Makalah, Lawas Puisi Lisan Tradisional Salah Satu Pilar Kesenian Daerah Sumbawa. Sabriah. 1994/1995. Makalah, Nilai Relegi dalam Elong Ugi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Balai Penelitian Bahasa di Ujung Pandang. Syamsuddin, Helius. 1982. Makalah, Hubungan Antar Pulau dan Interaksi Antar Suku Bangsa. Suyasa, Made. 2002. Tesis, Wacana Seni Balawas dalam Masyarakat Samawa. Denpasar Program Pascasarjana Univ. Udayana. Heni MawarniNFN UbaidullahPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan dalam sastra lisan lawas puisi rakyat masyarakat Sumbawa. Lawas telah menjadi bagian dari tonggak kehidupan masyarakat sehingga perlu diungkapkan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara dan analisis dokumen. Data dianalisis dengan teknik ketekunan pengamatan dengan pemusatan pada hal-hal yang dicari secara rinci sehingga data-data yang ditemukan peneliti akan semakin benar. Dengan begitu data-data yang ditemukan benar-benar mengandung nilai pendidikan. Berdasarkan hasil analisis data ditemukan nilai pendidikan yang terkandung dalam lawas puisi rakyat masyarakat Sumbawa Nusa Tenggara Barat 1 nilai sosial, 2 nilai moral, 3 nilai religius, dan 4 nilai budaya. Nilai pendidikan yang terkandung dalam lawas tidak terlepas dari nilai-nilai luhur yang selalu menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat Sumbawa. Syaiful BahriTulisan ini akan menggambarkan dua hal, yaitu 1 deskripsi bentuk dan jenis karya sastra yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat tutur bahasa Bugis di KabupatenSumbawa; 2 distribusi dan penyebaran karya sastra hasil analisis data ditemukan dua ragam karya sastra, yaitu prosa dan puisi. Dari ragam prosa ditemukan dua jenis karya sastra, yaitu dongeng dan legenda yang kesemuanya ditemukan di kedua daerah pengamatan. Pengelompokan lebih khusus menunjukkan, di Teluk Santong hanya ditemukan jenis dongeng lelucon, sedangkan di Labuan Mapin ditemukan tiga jenis dongeng, yaitu lelucon, fabel, dan dongeng biasa. Jenis legenda di Teluk Santong hanya legenda setempat, sedangkan di Labuan Mapin ditemukan legenda perorangan, keagamaan, dan alam puisi ditemukan jenis pantun kĆ©long dan mantra jappi. Jenis pantun ditemukan di kedua daerah pengamatan, sedangkan jenis Mantra hanya ditemukan di Labuan Lawas Siya Kumpulan Lawas Sumbawa. Sumbawa Kantor Arsip dan Perpustakaan DaerahUsman AminAmin, Usman. 2007. Kukokat Lawas Siya Kumpulan Lawas Sumbawa. Sumbawa Kantor Arsip dan Perpustakaan Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lainJames DanandjajaDanandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta Muslimin JasinJ NoorduynNoorduyn, J. terjemahan Muslimin Jasin. 2007. Sejarah Sumbawa. Yogyakarta RIAK Riset Informasi dan Arsip Kenegaraan.Makalah, Lawas Puisi Lisan Tradisional Salah Satu Pilar Kesenian Daerah SumbawaDinullah RayesRayes, Dinullah. 1991. Makalah, Lawas Puisi Lisan Tradisional Salah Satu Pilar Kesenian Daerah Daerah Nusa Tenggara BaratNtb DepdikbudDepdikbud, NTB. 1988. Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Mataram Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudyaan Daerah. Kapan bahasa Sumbawa mulai dipergunakan oleh penduduk asli dijaman purba, tidak seorangpun yang dapat mengetahuinya. Data-data sejarah mengenai hal itu tidak pernah dijumpai. Lawas yang berinduk pada bahasa Sumbawa tak dapat diduga kapan mulai pertumbuhannya dikalangan masyarakat. Yang jelas ketika penduduk Sumbawa hidup dalam lingkungan masyarakat yang masih primitif, disaat itulah bahasa Sumbawa awal mulanya tumbuh setelah melalui bermacam-macam proses dan perbauran kebudayaan aneka suku yang menghuni tanah Sumbawa. Kehadiran dalam kehidupan kultur manusia mula pertama berperan sebagai alat ekspresi suasana batin manusia dan sebagai alat perekam peristiwa yang terjadi di seputar kita. Jika suasana batin manusia primitif diliputi haru, sendu, gundah-gulana karena musibah atau datangnya marabahaya yang mengancam hidupnya, maka untuk menanggulangi itu dijalin dan dicurahkan perasaannya dalam bentuk kata-kata bertuah/mantera untuk mengusir marabahaya itu. Mereka memberi jampi kepada senjata-senjata yang mengawal hidupnya atau menyampaikan pesan lewat lagu-lagu dalam upacara pemujaan agar yang gaib dapat mengusir unsur-unsur yang menimbulkan marabahaya. Sepertinya inilah peran lawas pada mulanya. Contoh mantera Sumbawa untuk menentang kekejaman alam. Genia genkum genia genkum Oo binatang putih jalu, Mana ular, lipan, teledu Lamin ngaluit mu rengkam Terjemahan Genia genkum genia genkum Wahai hewan putih Taring, Biar ular, lipan, kalajengking Jika bergerak maut mencekam Lawas yang kita kenal sejak dahulu hingga sekarang ini tidak dimiliki oleh perorangan tetapi merupakan milik bersama turun-temurun. Ahli lawas menurunkan kepada anak cucunya secara lisan. Lawas itu tidak ditulis dalam buku khusus. Kalaupun dulu kita kenal Bumung lembaran daun lontar tertulis disimpan dalam tabung bambu kebanyakan isinya, lawas tutir cerita, silsilah dan sejarah pahlawan sakti yang ditulis dengan satera jontal tulisan lontar mirip dengan aksara suku Bugis/Makasar. Aksara jontal ini merupakan huruf khas suku Sumbawa yang pada zaman mutakhir ini hampir sirna. Lawas ialah ciptaan manusia yang dilahirkan dan dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulisan yang menimbulkan rasa keindahan dan keharuan dalam lubuk jiwa manusia. Lawas puisi lisan tradisional yang merupakan cermin jiwa anak-anak, getar sukma muda-mudi dan orang tua. Pembagian lawas itu pada umumnya terdiri dari Lawas Tau Ode Anak-anak Lawas tau ode mengedepankan tentang dunia anak-anak yang penuh kocak. Mengumandangkan lawas itu tergantung pada waktu lawas itu ditembangkan. Ulan atau langgan lawas itu terbagi atas tiga bagian. Kalau ditembangkan pada pagi hari dikenal dengan ulan siyep pagi hari. Kalau dikumandangkan saat triknya matahari dikenal dengan ulan panas ano. Senja hari dikenal dengan ulan rawi ano. Berikut ini beberapa contoh sebait lawas anak-anak Ma tunung adi ma tunung Meleng tunung kubeang me Jangan jadi kembo kopang Terjemahan Mari tidur adik marilah tidur Bangun tidur kuberi nasi Campur susu kerbau yang sehat Lawas Muda-Mudi Taruna Dadara Lawas muda-mudi taruna dadara yang intinya berkisar sekitar perkenalan, percintaan, berkasih-kasihan, perpisahan beriba hati. Bila bertemu antara jejaka da gading ketika menanam atau di saat memotong padi di sawah, dikala menonton keramaian kerapan kerbau atau permainan barempuk, diantaranya terjadi terjadi pertautan batin, tapi mereka belum berkenalan masih dalam fase memendam perasaan, maka terjadilah suatu kelumrahan seperti tercermin pada lawas berikut ini Ajan sumpama kulalo Kutarepa bale andi Beleng ke rua e nanta Terjemahan Seandainya aku bertandang Mampir di rumah adinda Adakah gerangan belas kasihan ? Lawas Tau Loka Orang Tua Lawas tau loka orang tua berintikan nasihat, agama dan filsafat. Lawas orang tua bersifat didaktis berisi pelajaran dan sebagian lagi berintikan agama. Berikut ini beberapa contoh sebait lawas tau loka Pati pelajar we ate Namu pina boat lenge Pola tu leng desa tau Terjemahan Patuhi ajaran duhai sukma Jangan tunaikan laku buruk Tahu diri dirantau orang 0% found this document useful 0 votes3K views21 pagesCopyrightĀ© Ā© All Rights ReservedAvailable FormatsDOC, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes3K views21 pagesLawas, Sakeco Dan Tuter SamawaJump to Page You are on page 1of 21 You're Reading a Free Preview Pages 6 to 15 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Page 19 is not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.

lawas sumbawa tentang nasehat